Pilihan. Ya, manusia selalu dihadapkan pada dua pilihan dalam hidup, baik itu sesederhana pertanyaan, “Akan makan siang di luar atau pesan dan makan di kantor ya?” maupun pilihan besar yang bisa begitu hebat dampaknya dalam hidup.
Videografer Nicky Nugroho Soetarto (Nicky NS) pun sempat dihadapkan pada dua pilihan untuk kariernya:
Menjadi arsitek (sesuai apa yang dipelajarinya selama kuliah)? Atau mengikuti dorongan batinnya untuk menjadi videografer profesional? Ia pun nekat memilih yang kedua.
Ketertarikannya pada dunia videografi diawali pada 2004, sekitar saat tahun pertama ia kuliah di Universitas Bina Nusantara, saat itu beberapa brand besar produk kamera DSLR, baru gencar memasarkan kamera foto dengan fitur video.
Maka mulai dari iseng-iseng membuat video dokumentasi pribadi, membantu teman di beberapa event tertentu, dan membuat video traveling sendiri, akhirnya ia merasa tertantang untuk lebih mendalami bidang ini.
Meski masih tercatat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal di Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Periode 2015-2018, ia kini dikenal sebagai videografer dengan ciri khas karya bergaya dokumenter. Sejumlah event dan brand kenamaan seperti Air Asia, Total E&P Indonesia, AXN Asia juga pernah menjadi kliennya.
Selain membuat video komersial, ia juga aktif menjadi videografer dan tenaga ahli di Kemenristekdikti, Kemendesa, dan sejumlah organisasi nonprofit, salah satunya Habitat for Humanity. Simak perbincangan The Crafters berikut ini.
Karena lebih merasa nyaman. Nyaman ketika melakukan hal atau pekerjaan, tapi berasa enggak seperti sedang bekerja, bisa dibawa fun, mungkin karena passion. Melalui video, ada makna yang tidak pernah bisa disampaikan melalui cerita dongeng, foto, tulisan, atau desain bangunan.
Kalau soal penghasilan, enggak juga kok, saya sempat bekerja juga pada biro konsultan arsitek selama 4 tahun, dengan sequence dan pola kerja yang hampir sama, tapi hasilnya biasa saja.
Saya belajar secara otodidak. Secara teori cuma beberapa kali baca buku tentang teknik video, dan selanjutnya memperbanyak wawasan dan referensi melalui Vimeo dan YouTube. Lebih asyik sih mempelajari dan mempraktikkan hal baru. Saya suka proses trial and error-nya.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa fotografi merupakan akar dan satu-kesatuan yang tak terpisahkan dari videografi. Saya memang lebih tertarik untuk mendalami videografi, tapi melalui fotografi, saya juga dapat mempelajari kehidupan keseharian (humanity, landscape, street photography, dan sebagainya).
Secara teknik mungkin tidak langsung. Tapi cukup berpengaruh dalam beberapa hal terutama saat menentukan pola garis atau pattern dalam komposisi video. Mungkin karena terbiasa melihat hal tersebut dalam dunia arsitektur.
Spontan, simpel, dan santai. Tapi sepertinya sih beda-beda juga, karena beberapa hal harus mengikuti arahan klien. Tapi kalau secara idealis, saya lebih banyak menggunakan konsep run and gun shot, menyelipkan topik human interest, mengandalkan natural lighting, dan audio sebagai pendukung mood .
Basic-nya sih sesederhana karena saya memang suka mengambil gambar objek-objek yang menurut saya menarik saja. Karena saya pikir, dengan memotret kehidupan dan manusia, akan banyak kejutan atau magical things yang enggak bisa diprediksi.
Mereka sulit ditebak. Mereka bisa senang, tertawa, atau mengusir kita tiba-tiba. Video akan menangkap bentuk interaksi sosial yang saya pikir tak bisa dinilai dengan apa pun.
Tantangan biasanya terjadi saat proses produksi. Ketika ada beberapa scene di mana talent perlu diarahkan demi kebutuhan gambar atau memperkuat konten, namun talent–talent ini adalah orang biasa yang tidak dibayar, mereka bisa saja tiba-tiba tersinggung, hilang mood dan bosan.
Biasanya, saat praproduksi, saya berkenalan dengan mereka (para calon talent di lapangan) tanpa membawa atribut kamera atau sejenisnya. Hanya berkenalan, ngobrol santai dan bercerita banyak hal. Yang terpenting adalah saling menciptakan rasa nyaman dan kepercayaan mereka dulu kepada kita. Dan satu hal yang pasti, kita harus menjaga etika ketika berinteraksi maupun pada saat memberi arahan.
Saya yakin, secara objektif, human interest adalah sebuah kekayaan intelektual yang akan selalu berkembang melalui elemen foto dan video. Tidak selamanya karya yang absolut diikuti dengan komersialisasi, begitu pun sebaliknya. Dan sejauh ini, kalau kita telaah lebih detail, sudah banyak juga kok objek humanity yang diaplikasikan pada brand komersial; dengan metode yang soft ataupun hard sell.
Biasanya pada konsep awal dari klien yang konservatif dan hardselling-minded. Biasanya ketika brainstorming, kita kasih contoh mereka beberapa video corporate yang lebih pop, lebih meaningful. Tidak melulu soal keunggulan atau narsisisme perusahaan tersebut, tapi lebih menekankan makna dan big impression yang akan menjadi poin utama untuk memperkenalkan corporate tersebut pada publik.
Ketika syuting untuk documentary video Startup Gas Total E&P Indonesie Offshore platform di lepas pantai South Mahakam, Kalimantan Timur. Saat itu situasi bulan Ramadan, di mana saya dan beberapa kru berpuasa dan medannya cukup berat.
Tapi yang lebih mengesankan lagi adalah ketika syuting tergenting pada hari-H (percobaan pengiriman gas dari platform dan pembukaan pipa). Kondisi tersebut adalah kondisi paling berisiko untuk keselamatan. Dan lucunya, saat itu izin untuk tim video hanya diperbolehkan satu orang saja yang berada di platform. Alhasil saya harus mengambil gambar dengan tiga kamera (2 DSLR + 1 GoPro) dan harus naik turun 4 lantai platform. Capek sih, tapi seru. Dan untungnya enggak berasa kalau sedang puasa.
Pastinya hari H (produksi). Karena ada hal-hal di luar dugaan, lebih banyak tantangannya. Mengedit video juga ada seninya, harus berpikir bagaimana caranya membuat video itu jadi enggak biasa.
Proses ini, setiap videografer pasti punya cara masing-masing. Kalau mau mulai ngedit, dalam proses ngedit, setiap audio akan membangun mood dan membentuk karakter video. Kalau saya biasanya milih scoring-nya dulu, dengerin audionya dulu, untuk membangun mood saya, dan baru saya dapatkan mood videonya.
Terapkan prinsip 2PRO: PROfesional dan PROporsional. Bekerja secara profesional dan bersikap proporsional. Jaringan dan kekayaan moral akan kita peroleh selama etika kita jaga. Jangan malu buat bertanya, selalu belajar pada orang yang lebih ahli dari kita.
DRIE yang bermakna TIGA (dalam bahasa Belanda), karena pada saat itu DRIE berkomitmen untuk mengerjakan tiga disiplin pekerjaan; videografi, fotografi, dan desain grafis.
Awalnya saya mengajak salah seorang kawan desainer grafis, lalu setelah itu mengajak satu kawan lagi seorang fotografer yang juga ahli videografi. Berjalan beberapa bulan, dan akhirnya saya mengajak satu orang lagi sebagai Account Executive.
Kalau untuk film, Emmanuel “Chivo” Lubezki. Kekuatan Emmanuel Lubezki dalam kepekaanya dalam menggunakan available light yang mendukung emosi cerita dalam scene-scene tertentu. Saya memang biasanya lebih suka menggunakan available light dalam berkarya.
Kalau untuk documentary, Abraham Joffe. Ia selalu ajaib dalam mengolaborasikan momentum yang tepat dengan mood video-video dokumenternya.
Melakukan prinsip 2PRO: PROfesional dan PROporsional. Bekerja secara profesional dengan tidak menurunkan kualitas standar pada karya, dan bersikap proporsional pada kondisi di mana budgeting bukanlah segalanya. Karena itu, jaringan dan kekayaan moral akan kita peroleh selama etika kita jaga. Jangan malu buat bertanya, selalu belajar pada orang yang lebih ahli dari kita.
Banyak fotografer berkualitas seperti Nicky NS yang telah bergabung di GetCraft untuk menawarkan jasa fotografi untuk para klien di seluruh Indonesia. Ingin tahu fotografer mana saja yang sudah gabung? Yuk lihat disini!
Regular
Italic
Bold
The rich text element allows you to create and format headings, paragraphs, blockquotes, images, and video all in one place instead of having to add and format them individually. Just double-click and easily create content.
A rich text element can be used with static or dynamic content. For static content, just drop it into any page and begin editing. For dynamic content, add a rich text field to any collection and then connect a rich text element to that field in the settings panel. Voila!
Headings, paragraphs, blockquotes, figures, images, and figure captions can all be styled after a class is added to the rich text element using the "When inside of" nested selector system.