ÒIf the photographer is interested in the people in front of his lens,Êand if he is compassionate,ÊitÕs already a lot.ÊThe instrument is not the camera but the photographer.ÓPernyataan di atas dilontarkan Eve Arnold, jurnalis foto legendaris yang juga fotografer aktris Marilyn Monroe. Ia memang dikenal sebagai juru foto yang ramah dan dekat dengan banyak orang; tak hanya objek fotonya, tapi juga orang-orang lain di sekitarnya. Hal itu menurutnya, aset penting dalam proses kreatifnya.Begitu pula kesan yang kira-kira tertangkap dari Pio Kharisma. Sejak awal berkenalan dengannya, langsung terasa kalau ia adalah seorang yangÊhumble, terbuka, dan tidak mengambil jarak dengan siapapun. Hal yang mungkin bisa kita tebak juga dari foto-fotonya yang menonjolkan elemen senada dengan Eve Arnold, yaitu manusia.Coba saja cek galeri fotonya di akun InstagramÊpiokharisma; kita bisa melihat tingkah, ekspresi, dan aksi banyak orang di sana, terutama orang-orang yang beraksi di atas panggung. Deretan fotonya ibarat cerita spontan dan apa adanya.Hal yang tidak mudah, mengingat fotografi panggung punya tantangan teknis tersendiri, dan perlu banyak jam terbang. Belum lagi caranya mendekatkan diri dan memahami karakteristik objek fotonya.Simak perbincanganÊThe CraftersÊdengan fotografer yang juga dikenal sebagai juru foto berbagai komika Indonesia, seperti Pandji Pragiwaksono dan Ernest Prakasa; sekaligus juga penggemar Anton Ismael, berikut ini:
Awalnya, saya tertarik fotografi karena sering kesulitan mendapatkan materi foto bagus dengan resolusi tinggi buat bahan latihan manipulasi foto, ketika mengikuti kursus Photoshop, sekitar 2007.Lalu, pada 2008, ada teman baik saya mendapatkanÊjobÊmotret tur tamasya sebuah perusahaan rokok ke Kuala Lumpur. Saya pun diajak menjadi asistennya, tapi dengan syarat, juga ikutan motret. Karena itu, saya cari pinjaman DSLR dan baru benar-benar belajar motret menjelang perjalanan itu.Pada 2009, saat itu saya bekerja sebagaiÊfreelancerÊbuatÊevent organizer, dan ketika adaÊjobÊdi luar kota, saya pinjam kamera teman, DSLR Nikon D90. Kebetulan bisa dipinjam, dan lumayan saya jadi bisa foto-foto asal selama di luar kota. Dari situ, saya makin ketagihan motret; dan memutuskan untuk beli kamera sendiri.Pilihan saya ketika itu Canon EOS 1000D. Enggak sampai setahun, saya jual kamera itu, untuk membeli Canon EOS 7D yang harganya mahal banget. Tapi demi ingin jauh lebih serius di dunia fotografi. Dan saking mahalnya, membuat saya juga bertekad akan cari uang dari kamera mahal itu.
Ya. Saya memutuskan cari uang dari motret, meski sebelumnya sudah berkarier cukup baik, dengan penghasilan yang sudah sangat cukup juga sebagai anakÊevent, karena saya merasakan kegembiraan di dunia visual ini.Kegembiraan yang berbeda dengan berbagai profesi yang pernah saya jalani sebelumnya; mulai dari penyiar radio, sampaiÊaccount executiveÊdiÊadvertising agency, dan akhirnya di bidangÊevent organizer.
Saya memutuskan berprofesi sebagai fotografer pada 2010. Dan sampai sekarang, saya merasa masih belum menemukan karakteristik tertentu. Tapi menurut orang-orang yang menikmati karya saya, ciri khas foto-foto saya adalah kemampuan saya menangkap ekspresi dan momen yang terjadi di depan saya.Entah itu denganÊframingÊyang padat, atau justru banyakÊempty space. Juga (masih) menurut mereka, saya bisa menangkap momen, sekaligus mengatur komposisi yang unik.
Saya paling menikmati ketika membayangkan apa hasil akhir dariÊframingÊyang saya buat ketika menekan tombolÊshutter. Saya biasanya sudah membayangkan apa yang akan saya lakukan pada tahapÊpost productionÊpada tiapÊframeÊyang saya buat.
Melawan diri sendiri. Saya merasa harus selalu lebih banyak belajar, lagi dan lagi. Yang perlu diakui, seringkali ada rasa cukup puas muncul, dan hal itu ibarat tumor ganas yang akan membunuh saya perlahan, kalau tidak bisa saya kalahkan.
Ketika bisa keliling dunia pada periode 2014 sampai 2016 kemarin. Saya memotret ke lima benua, karena selalu ikut menemani Pandji Pragiwaksono turÊstandup comedyÊselama dua tahun itu.
Satu aja, jangan takut naikin ISO. Jangan takut gambar jadiÊgrainyÊatauÊnoise. Lebih baikÊgrainyÊdaripada kehilangan moment akibatÊshaky.
Satu, pelajariÊvenue. Pastikan kita tahu betul mana area yang bisa jadi tempat kita motret, mana yang enggak boleh.Kedua, bawa lensa denganÊapertureÊlebar atauÊfast lenses, karena bakal sangat membantu saatÊlow light.Selanjutnya,Êrespect the show. Terkait hal ini, saya selalu berusaha menyiapkan pakaian terbaik pada tiapÊshowÊyang saya potret.Bukan hanya pakai kaos oblong, celanaÊjeans, dan sepatu sandal.Terakhir,ÊmingleÊdanÊenjoy!Nikmati momennya, dan berinteraksilah dengan orang-orang yang hadir diÊeventÊtersebut.
Ada beberapa lensa terbaik menurut saya. Seperti Canon EF 50mm, baik yangÊaperture-nya 1.8, 1.4, ataupun 1.2; karena cepat danÊrange-nya sangat pas buat saya.Lalu Canon EF 16-35/f2.8 L karena saya suka distorsinya; dan Canon EF 70-200/f4 L, lensaÊteleÊringan yang hasilnya sangat tajam.Oh, juga Tamron 28-75/f2.8 karena jadi lensa pertama saat memakai 7D; selain itu juga, lensa yang tajam walaupun harganya relatif murah
Regular
Italic
Bold
The rich text element allows you to create and format headings, paragraphs, blockquotes, images, and video all in one place instead of having to add and format them individually. Just double-click and easily create content.
A rich text element can be used with static or dynamic content. For static content, just drop it into any page and begin editing. For dynamic content, add a rich text field to any collection and then connect a rich text element to that field in the settings panel. Voila!
Headings, paragraphs, blockquotes, figures, images, and figure captions can all be styled after a class is added to the rich text element using the "When inside of" nested selector system.