Pada kisaran tahun 2013, saya mengunjungi sebuah toko buku bersama pacar saya saat itu dengan niatan untuk membeli buku Hujan di Bulan Juni. Kami menelusuri rak-rak penuh buku puisi dan (mantan) pacar saya berhenti pada sebuah buku. Katanya, “Wah ini.”
“Kenapa, Mas?”
“Enggak. Buku ini. Pengarangnya suka nge-twit. Aku pernah ketemu pengarangnya. Aku tanya sama beliau, ‘Ada rencana menerbitkan buku lagikah?’ terus dia menjawab, ‘Belum tahu.’ Eh ini… sudah terbit lagi. Padahal baru beberapa bulan lalu,” kata (mantan) pacar saya dengan nada penuh kekaguman. Ia mengambil buku tersebut, saya mengambil buku yang lain, dan kami pun membayar buku-buku yang kami ambil di kasir.
Lewat beberapa bulan semenjak itu, saya kembali ke toko buku dan saya mengambil sebuah buku yang ditulis oleh si penulis yang membuat (mantan) pacar saya kagum. Di salah satu halamannya, tertulis:
“….
Setiap orang akan menyeduh kesedihan
Dan kebahagiaannya di secangkir teh atau kopi
Dan meminum air matanya sendiri.”
Sepotong bait itu berhasil membuat saya jatuh hati pada puisi Indonesia. Sepotong bait puisi itu sukses mendorong saya untuk memborong seluruh buku Joko Piburbo yang telah beredar di toko-toko buku yang tersebar di mana-mana. Sepotong bait puisi itu menjadi pemandu saya untuk mencari tahu siapa sebenarnya sosok Joko Pinurbo dan karya-karyanya.
Joko Pinurbo adalah salah seorang penyair Indonesia yang karya-karyanya telah menorehkan gaya dan warna tersendiri dalam dunia puisi Indonesia. Ia menyelesaikan pendidikan terakhirnya di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (sekarang Universitas) Sanata Dharma Yogyakarta. Kegemarannya mengarang puisi ditekuninya sejak di Sekolah Menengah Atas.
Kepenyairan Joko Pinurbo mulai dikenal setelah ia menerbitkan kumpulan puisi Celana (1999). Sejak saat itu, buku-buku puisinya lahir dengan runutan sebagai berikut: Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Trouser Doll (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), Pacar Senja — Seratus Puisi Pilihan (2005), Kepada Cium (2007), Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung — Tiga Kumpulan Puisi (2007), Tahilalat (2012), Baju Bulan – Sehimpun Puisi Pilihan (2013), Bulu Matamu: Padang Ilalang (2014), Surat Kopi (2014), Selamat Menunaikan Ibadah Puisi — Sehimpun Puisi Pilihan (2016), Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu — Sehimpun Puisi Pilihan (2016), Tubuh Pinjaman dan Puisi Lainnya/Borrowed Body and Other Poems/Geliehener Korper und Andere Gedichte (2015), dan Buku Latihan Tidur (2017). Baru-baru inipun, Joko Pinurbo menerbitkan karya novel perdananya berjudul Srimenanti.
Atas pencapaiannya ini, tak heran Joko Pinurbo telah memperoleh berbagai penghargaan seperti Penghargaan Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta (2001), Sih Award (2001), Hadiah Sastra Lontar (2001), Tokoh Sastra Pilihan Tempo (2001, 2012), Penghargaan Sastra Badan Bahasa (2002, 2014), Kusala Sastra Khatulistiwa (2005, 2015), South East Asian (SEA) Write Award (2014).
Puisi-puisi Jokpin (Joko Pinurbo) merupakan perpaduan narasi, humor, ironi, dan satire. Ia gemar menggunakan dan mengolah citraan yang mengacu pada peristiwa dan objek sehari-hari dengan bahasa yang cair tapi tajam. Puisi-puisinya banyak mengandung refleksi dan kontemplasi yang menyentuh absurditas hidup sehari-hari. Di sisi lain, Jokpin gemar mempermainkan dan mendayagunakan keunikan kata-kata bahasa Indonesia sehingga banyak puisinya hanya dapat dihayati dan dinikmati dalam bahasa Indonesia.
Beruntung, saya berkesempatan untuk berkenalan dengan Joko Pinurbo beberapa waktu lalu dan mewakili Crafters, saya berhasil melakukan wawancara tentang perjalanan kepenulisan puisinya, arti menulis, hingga komentarnya terhadap tren puisi digital yang marak belakangan ini.
Saya menekuni hobi bersastra, khususnya berpuisi, sejak masuk SMA (tahun 1977). Saya tinggal di asrama. Kebetulan sekolah/asrama saya memiliki perpustakaan yang koleksi bacaan sastranya mengagumkan. Saya banyak membaca karya para penulis ternama Indonesia di samping terjemahan karya para penulis mancanegara. Dari banyak membaca itulah timbul niat dan semangat untuk ikut-ikutan menjadi pengarang. Kebetulan pula saya termasuk anak yang kurang pandai bergaul. Saya lebih suka menyendiri dan berkumpul dengan kata-kata. Mungkin saya lebih pandai bergaul dengan kata-kata ketimbang dengan manusia.
Baca Juga: Dea Anugrah: “Jangan Mati Dulu, Jangan Hari Ini”
Bisa dari mana saja. Dari pengalamn diri sendiri maupun orang lain. Dari pengamatan terhadap peristiwa dan situasi hidup sehari-hari. Dari membaca berbagai jenis bacaan, termasuk iklan di surat kabar. Dari Kitab Suci. Namun yang paling banyak, dari melamun.
Kira-kira seperti orang yang bertualang ke berbagai tempat untuk menemukan persinggahan atau persemayaman yang nyaman dan akhirnya menyadari bahwa tempat ternyaman ialah rumahnya sendiri—apa pun keadaannya. Selama sekian tahun saya suntuk mempelajari dan mencoba berbagai teknik dan gaya penulisan dari karya para pengarang yang saya baca. Baru pada pertengahan tahun 1990-an saya merasa menemukan cara dan gaya penulisan yang nyaman dan cocok untuk saya. Usaha mengembangkan karakter perpuisian saya ini ditandai dan dimulai dengan buku puisi Celana (1999).
Banyak, antara lain buku puisi Sapardi Djoko Damono, buku renungan Anthony de Mello, buku tabungan, dan buku Injil.
Lihat penulis yang tergabung dalam jejaring GetCraft!
Tentu. Menulis puisi toh bukan klenik. Tak ada bahan yang jatuh dari langit. Semua bermula dari tiada. Si penyair sendiri yang harus meng-ada-kan atau menciptakan bahan bagi penulisan puisinya. Itulah pentingnya riset. Riset di sini tidak perlu dipahami sebagai riset dalam konteks akademis atau keilmuan. Sekadar contoh, sajak-sajak celana dan kamar mandi lahir sebagai hasil riset saya mengenai objek atau citraan apa saja yang belum atau jarang ditulis para penyair sebelumnya. Contoh lain, puisi “Kamus Kecil” muncul setelah saya melakukan riset terhadap permainan bunyi kata dalam bahasa Indonesia. Dengan kata lain, kadang saya melakukan riset pustaka. Tentu saja riset lapangan pun sangat mungkin dilakukan oleh para penyair.
Puisi itu seni kata yang ketat dan kompleks, yang melibatkan berbagai elemen. Selain diksi yang kuat, citraan yang hidup, metafora yang segar, keselarasan rima dan irama, ada dua hal yang saya perhatikan, yaitu keunikan perspektif dan kreativitas dalam mengolah dan memainkan kata-kata.
Benda dan peristiwa sehari-hari dalam puisi-puisi saya sesungguhnya merupakan samaran atau jelmaan dari kompleksitas dan absurditas hidup yang ada di baliknya. Di balik narasi tentang benda dan peristiwa sehari-hari ada spiritualitas hidup yang ditawarkan untuk dipikirkan atau direnungkan, yang sebagian saya olah dan saya gali dari teks Kitab Suci. Inspirasi yang berkaitan dengan celana, burung, dan kopi, misalnya, bersumber dari perenungan atas teks dalam Kitab Suci Perjanjian Baru.
Untuk apa puisi-puisi saya melibatkan humor? Tentu saja agar puisi Indonesia ada lucunya. He-he-he…. Lebih dari itu, humor merupakan cara untuk menertawakan, menghibur, dan mendamaikan diri sendiri. Humor itu semacam obat, terapi. Humor itu sarana untuk bersikap relaks, untuk mencairkan kebekuan dan mengendurkan ketegangan, serta untuk menikmati absurditas hidup. Jangan lupa, di dalam humor juga ada permainan logika.
Baca Juga: Theoresia Rumthe: Menyuarakan Kegelisahan adalah Kewajiban untuk Penulis
Tanggapan saya biasa-biasa saja. Itu wajar. Bagaimana pun zaman sudah berubah dan perubahan zaman, termasuk perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, merupakan keniscayaan. Saya juga pernah menggunakan Twitter untuk menulis dan menyiarkan sajak-sajak pendek yang kemudian menghasilkan buku kumpulan puisi. Namun, memang, ada sesuatu yang harus dicermati dan diwaspadai. Dengan kecanggihan teknologi saat ini sembarang orang bisa secara instan dan gampang(an) menulis dan menyiarkan sembarang puisi melalui jejaring atau media sosial. Singkat kata, bayangkan jika karya-karya yang buruk beredar luas dan dijadikan model. Hasilnya adalah selera sastra yang buruk.
Sekali lagi, puisi itu seni kata yang ketat. Saya tidak mau memberi saran untuk hal-hal yang berkaitan dengan teori dan teknik menulis puisi karena semua itu bisa dipelajari dan bisa dengan mudah dicari sendiri referensinya. Lagi pula, menulis puisi bukanlah sekadar mengaplikasikan teori puisi. Ada unsur kreativitas dan petualangan di dalamnya. Yang ingin saya tekankan di sini: sebelum bernafsu menjadi penyair, belajarlah dulu menulis dengan bahasa yang baik dan benar, dengan memperhatikan gramatika dan logika.
Sayang sekali, saya belum pernah menerima saran yang berkaitan khusus dengan penulisan puisi. Saya pun tidak ingin memberikan saran. Kalaupun dipaksa menyampaikan saran, saran saya hanyalah, “Menjadi penyair itu berat. Jangan ikuti saya.” Ha-ha-ha…
Aku menulis puisi, maka aku ada. Klise, tetapi begitulah kenyataannya.
Kamu seorang penulis yang ingin bergabung dalam jejaring GetCraft?
Foto feature oleh Felix Jody
Regular
Italic
Bold
The rich text element allows you to create and format headings, paragraphs, blockquotes, images, and video all in one place instead of having to add and format them individually. Just double-click and easily create content.
A rich text element can be used with static or dynamic content. For static content, just drop it into any page and begin editing. For dynamic content, add a rich text field to any collection and then connect a rich text element to that field in the settings panel. Voila!
Headings, paragraphs, blockquotes, figures, images, and figure captions can all be styled after a class is added to the rich text element using the "When inside of" nested selector system.