Ada yang bilang bahwa jatuh cinta kedua adalah jatuh cinta yang sebenar-benarnya. Atau setidaknya, begitulah yang terjadi pada saya.
Saya sendiri, mengaku bahwa cinta pertama saya dengan sastra Indonesia, terutama puisi, adalah saat membaca buku pelajaran Bahasa Indonesia ketika masih duduk di bangku SMP, yang memuat salah satu puisi Sapardi Djoko Damono berjudul Hujan di Bulan Juni.
Tapi semuanya berlalu begitu saja, layaknya cinta monyet. Dengan “kesibukan” saya sebagai siswi SMP saat itu, saya diharuskan mempelajari mata pelajaran lain yang menyita waktu dan tenaga. Saya jadi lupa dan sekejap move on dari rasa hangat yang ditimbulkan dari membaca puisi Indonesia yang penuh diksi menarik, serta metafora unik di dalamnya.
Tanpa sadar, setelahnya, saya lebih sering tenggelam dalam bacaan-bacaan karya sastra luar negeri, yang pada saat itu, rasanya bahasa asing yang dibentuk sebagai puisi tersebut lebih bias dan menyenangkan untuk diartikan. Saya pun berhenti membaca puisi-puisi Indonesia, sampai kemudian saya mendengar puisi berikut ini…
“Ya, kita bukan tukang kebun
yang awas dengan warna daun-daun
tahu-tahu: sudah bertahun-tahun
perang besar telah lewat
menghancurkan rumahmu
–seluruh kesepianmu
–seluruh yang pernah kaumiliki
wajah dan suaramu segera menua
layaknya logam berkarat
memberat
–kau belum setua itu, kau tahu
kau hanya terlalu lama mencinta
orang yang tak kaucinta”
Penggalan puisi berjudul Banowati yang ditulis oleh Gunawan Maryanto itu dibacakan pada lakon sendratari yang saya saksikan di Gedung Teater Jakarta. Setelahnya, saya merasakan dorongan besar untuk kembali membaca karya-karya sastra Indonesia.
Mungkin Gunawan Maryanto tidak sadar, bahwa karya tulisnya memberikan dampak masif dalam hidup penikmat karyanya, termasuk saya. Mungkin Gunawan Maryanto tidak sadar juga, bahwa saya berhasil jatuh cinta kedua kalinya pada sastra Indonesia, karena karyanya.
Baca Juga: Bernard Batubara: Industri Buku, Media Sosial dan Konsistensi
Beruntungnya, saya berkesempatan untuk berkenalan dengan Gunawan Maryanto secara langsung beberapa tahun lalu. Sebagai penulis, sutradara, dan aktor yang bermukim di Yogyakarta, aktivitas beliau terbilang padat. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir, Gunawan membintangi beberapa film besar seperti Istirahatlah Kata-Kata, Nyai dan Wiro Sableng.
Ketiga film tersebut disutradarai oleh sineas berbakat di Indonesia. Itu baru bicara soal kesibukan beliau sebagai aktor. Belum lagi soal acara-acara besar seputar buku dan kepenulisan yang ia hadiri. Beberapa hari lalu, Gunawan baru menyambangi Jakarta untuk jadi pembicara di acara The Readers Fest 2018 yang diadakan Gramedia, penerbit buku puisi terbarunya: Sakuntala.
Ia juga berhasil meraih sejumlah penghargaan sastra seperti Anugerah Sastra Pena Kencana pada 2008 dan 2009, serta Khatulistiwa Literary Award untuk buku kumpulan puisinya yang berjudul Sejumlah Perkutut buat Bapak pada 2010. Melakoni banyak ketertarikannya dalam banyak bidang (sastra, teater, dan keaktoran), beliau mengaku bahwa sejauh ini, karyanya masih mengangkat satu tema, yaitu kebudayaan Jawa yang erat dengan dirinya.
Crafters pun berkesempatan menyambangi kediamannya di Yogyakarta. Ketika itu, saya disuguhi kopi hangat dan sepaket bingkisan gorengan yang kebetulan sempat saya beli di pinggiran jalan Alun-Alun Keraton. Hari itu, kami ngobrol banyak hal, ngalor-ngidul sampai larut malam.
Tak cukup di situ, wawancara tentang arti menulis, kebudayaan dalam karya, dan sebagainya pun berlanjut lewat surel.
Sejak SMA aku mulai baca buku-buku sastra. Kebetulan aku masuk kelas bahasa, jadi tugas baca buku sastra cukup tinggi. Aku juga makin senang dengan teater, dan di sana aku juga banyak bertemu dengan puisi. Mungkin benar kata orang bahwa menulis adalah efek atau tindakan selanjutnya dari membaca.
Tulisanku juga berkembang seturut dengan bacaanku. Tapi aku mulai serius menulis pada 1999, dimulai dari mengadaptasi naskah lakon, dan menulis puisi. Di tahun itu juga aku diajak Ugoran Prasad untuk mengembangkan BlockNot Forum, sebuah forum menulis di lingkaran Teater Garasi.
Pada 2000 proposal penulisanku diterima di AKY (Akademi Kebudayaan Yogyakarta). Di kedua lembaga itulah aku belajar dan bertemu dengan banyak penulis lainnya. Buku kumpulan cerpenku yang pertama, Bon Suwung, diterbitkan oleh AKY melalui InsistPress. Tapi buku pertama sebenarnya adalah naskah lakon Waktu Batu, ditulis bersama dengan Ugoran Prasad dan Andre Nur Latif.
Inspirasi paling banyak datang dari pengalamanku, personal atau komunal. Dari peristiwa (nyata atau rekaan) yang kulihat dan kualami. Dari buku-buku yang kubaca. Dan residu atau sisa atau sesuatu yang belum kuselesaikan di medium yang lain (teater).
Buku pertama tentu berpengaruh bagi buku-buku selanjutnya. Ia semacam tolakan atau batu pal pertama. Ia bisa juga mengintimidasi, menekan, mendorong buku-bukuku selanjutnya.
Bukuku kebanyakan adalah kumpulan. Jadi kukumpulkan dari tulisan-tulisan yang sudah tersebar di banyak media lain seperti koran, jurnal, newsletter, dll. Biasanya aku kelompokkan sesuai tema agar lebih mudah dibaca. Jadi, buku-buku tersebut memang tematik.
Beberapa buku mungkin punya kaitan atau ikatan satu sama lain. Tapi ya, seluruh bukuku, sejauh ini, seperti punya benang merah yang menghubungkannya, yakni: (Kebudayaan) Jawa.
Karya-karyaku memang berpijak pada sebuah khasanah, yakni kebudayaan. Dan karena aku orang Jawa dan sangat lekat dengan kebudayaan Jawa, maka kebanyakan karyaku bertolak dari sana.
Cukup banyak buku yang menginspirasiku. Beberapa di antaranya adalah Olenka dan Orang-orang Bloomington dari Budi Darma. Pengakuan Pariyem dari Linus Suryadi AG, Saksi Mata-nya Seno Gumira Ajidarma, Blues untuk Bonnie dan Balada Orang-orang Tercinta dari WS Rendra, Duka-Mu Abadi dari SDD dan banyak lagi. Kalau dari luar atau terjemahan kebanyakan aku terinspirasi penulis-penulis India, Jepang, Tiongkok dan Amerika Latin.
Riset literatur adalah hal yang pertama kulakukan. Paling murah dan mudah. Apalagi kebanyakan karyaku adalah alusi (majas perbandingan yang merujuk secara tidak langsung ke seorang tokoh atau peristiwa), merujuk karya yang sudah ada sebelumnya. Jadi aku mesti menghabiskan dulu buku-buku yang kurujuk.
Riset lapangan juga kulakukan jika memang memungkinkan dan ada lokasi/peristiwa yang bisa kurujuk. Biasanya juga aku numpang riset lain supaya ngirit waktu dan biaya. Misal, riset-risetnya Teater Garasi ketika sedang menyiapkan karya. Lama dan tidaknya, atau “dalam” dan tidaknya sesuai kebutuhan saja.
Ya, aku selalu tertarik membaca atau mendengar bagaimana orang me-review karyaku. Kadang bacaan atau analisa mereka di luar bayanganku saat membuat karya. Pujian dan kritik sama saja menurutku. Mesti didengar. Tapi jangan juga disikapi berlebihan. Keduanya bisa produktif. Tapi juga bisa membunuh. Biasanya aku membaca kritik (baik atau buruk) ketika sudah punya cukup jarak dengan karyaku.
Elemen terpenting dalam berkarya ya tema dan bentuk. Tema mesti jelas dan kuat. Demikian pula dengan bentuk. Dan perkawinan keduanya lah yang membuat sebuah karya menjadi kuat. Kenapa? Tema adalah sesuatu yang akan kita sampaikan. Sesuatu yang secara personal menggelisahkan. Dalam membuat karya, kita tentu tengah menyampaikan sesuatu. Apa pun itu.
Bentuk tak kalah penting. Tanpa bentuk tema atau gagasan, karya itu tak akan punya wujud nyata. Ia harus menemukan bentuknya. Karena ini sastra, maka bentuk/wujudnya adalah bahasa (verbal), langgam (gaya bahasa), diksi (pilihan kata) dan seterusnya. Bentuk itu mesti bisa menerjemahkan gagasan awal dengan tepat. Apakah ia berbentuk puisi, prosa atau naskah lakon, masing-masing punya nalar dan penekanannya sendiri.
Baca Juga: 10 Buku Wajib Baca versi Adimas Immanuel
Karya-karyaku memang berpijak pada sebuah khasanah, yakni kebudayaan. Dan karena aku orang Jawa dan sangat lekat dengan kebudayaan Jawa, maka kebanyakan karyaku bertolak dari sana.
Jawa dan tetek-bengeknya adalah sebuah dunia yang aku olah dan mainkan. Aku menyoal budaya Jawa, membacanya kembali, dan menghadirkannya buat pembaca hari ini. Aku membaca soal hari ini sebagai seorang Jawa, yang barangkali tak sepenuhnya Jawa lagi. Ada perjalanan ulang-alik: Jawa dan bukan Jawa, hari ini dan masa lalu. Dan aku berada dalam ketengan (campuran) itu.
Waktu yang kubutuhkan untuk menulis atau menyusun buku tidak pasti. Kadang cepat, kadang sangat lambat. Sejumlah Perkutut buat Bapak yang meraih KLA kutulis dalam tempo semalam. Tapi ada juga buku yang memakan waktu bertahun-tahun.
Publikasi karya selalu diperlukan. Persebaran produk pengetahuan mesti dilakukan. Bentuknya tentu mengikuti perkembangan. Dari dulu kehadiran karya selalu dipublikasikan melalui media sosial. Bentuk media sosialnya saja yang berubah mengikuti teknologi mutakhir.
Lihat inspirasi dari para penulis lainnya yang bergabung di GetCraft!
Menulis adalah sebuah tindakan. Lanjutan dari sebuah pembacaan atas diri dan lingkungan. Menulis seperti membangun sebuah dialog dengan orang lain. Aku menulis dalam kesendirian. Tapi aku selalu membayangkan kehadiran orang lain.
Regular
Italic
Bold
The rich text element allows you to create and format headings, paragraphs, blockquotes, images, and video all in one place instead of having to add and format them individually. Just double-click and easily create content.
A rich text element can be used with static or dynamic content. For static content, just drop it into any page and begin editing. For dynamic content, add a rich text field to any collection and then connect a rich text element to that field in the settings panel. Voila!
Headings, paragraphs, blockquotes, figures, images, and figure captions can all be styled after a class is added to the rich text element using the "When inside of" nested selector system.