Perjalanan saya mencari dan menggali apa itu kolase yang diawali dari sebuah teori sastra enggak berhenti setelah mengenal Adam Hale dan mewawancarai Ika Vantiani. Perjalanan saya mencari lalu menggali apa itu kolase dan mengapa kolase memiliki sebuah daya tarik yang tak pernah habis menjadi magnet bagi pencinta seni malah baru dimulai. Perjalanan saya mencari kemudian menggali apa itu kolase membawa saya berselancar dan menemukan Feransis alias tuhanzilla di Instagram.
Feransis lewat akun Instagramnya; @tuhanzilla, getol memamerkan beberapa karya kolase yang menarik. Gayanya yang eksperimental menggabungkan ragam bentuk dari materi menarik perhatianmu hingga bertanya-tanya mengenai definisi bentuk itu sendiri; sampai pada tahapan apa bentuk dapat dieksplorasi, ditabrakan, hingga membentuk sesuatu yang menarik dan baru? Tak jarang ia melawan artian kolase yang umumnya dikenal sebagai proses merekonstruksi gambar-gambar yang sudah ada menjadi sebuah gambar baru; dari materi yang sudah ada menjadi kesatuan baru dengan membuat gambarnya sendiri untuk membuat karya kolase.
Baca Juga: Mengenal Tren Seni Kolase Digital
Feransis aktif bekerja sama dengan Ruci Art Space dan sempat memamerkan karya kolasenya dalam pameran. Tahun ini, Feransis ikut memamerkan beberapa hasil eksperimen kolasenya bersama 2D|3D : Interaction | Intersection. Pameran ini adalah kolaborasi antara Ruci Art Space (Jakarta) dan Bale Project (Bandung), yang diadakan di Ruci, dan dikuratori Pak Asmudjo J. Irianto.
Mewakili Crafters, saya mengontak Feransis untuk tahu lebih lanjut mengenai pandangannya terhadap seni kolase, tekniknya dalam menghasilkan karya kolase, dan pandangannya akan tren kolase digital. Berikut wawancara kami.
Kolase, saya kenal pertama kali di pelajaran kerajinan tangan di SD, tapi saya baru melihat kerennya kolase waktu SMP (sekitar awal tahun 2000an). Waktu itu saya membaca artikel tentang Winston Smith di majalah. Dia itu seniman kolase yang membuat sampul album Dead Kennedys, Greenday dan lain lain.
Setelah itu saya mencoba satu-dua kali membuat kolase, ikut-ikutan workshop yang diadakan di kampus dan tempat nongkrong, tapi enggak pernah secara serius berkolase. Sampai awal tahun 2018, saya iseng untuk mencoba rutin membuat kolase dan akhirnya keasyikan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan dari teknik kolase.
Pertama, karena saya tidak perlu berpikir terlalu lama mau membuat gambar apa. Jadi, membuat kolase lebih cepat daripada membuat ilustrasi, melukis atau mematung, seenggaknya dari pengalaman saya.
Kedua, karena sampai sekarang kemungkinan-kemungkinan yang bisa dibuat memakai teknik kolase belum saya lihat ujungnya, mungkin belum saya coba semua juga, jadi jalannya masih panjang.
Ketiga, karena skill, bahan dan alat yang dibutuhkan untuk membuat kolase tidak serumit yang dibutuhkan untuk membuat lukisan atau patung (Walaupun saya masih bercita-cita menjadi pelukis realis dan pematung ☹ ).
Sebagai “seni”, kalimat “tabrakan terus nempel” terus muncul di kepala saya beberapa bulan belakangan ini jika memikirkan tentang kolase. Tapi enggak tahu apakah besok besok pikiran tentang kolase ini berubah atau enggak, karena sebelumnya berbeda juga.
Jawaban saya kalau ditanya soal seniman kolase sih biasanya seperti ini; Winston Smith, karena beliau yang pertama membuat saya sadar kalau kolase itu bisa keren. Terus Ika Vantiani yang ngasih lihat kalau kolase bisa abstrak enggak perlu berbadan orang, berkepala batu, berkaki gajah dan bertangan panjang. Juga Henri Matisse yang membuat kolase yang hanya memakai kertas berwarna.Oh ya satu lagi, yang sebenarnya secara teknik tidak berpengaruh tapi secara sikap lumayan berpengaruh buat saya itu Hannah Höch, karena dia yang bilang kalau kolase itu bisa dipelajari dan dibuat dengan mudah oleh semua orang, bahkan dengan alat dan kemampuan yang minim. Jadi, kolase itu seharusnya sama sekali tidak eksklusif.
Kalau sedang benar benar berniat untuk mengeksplorasi pola dan bentuk biasanya saya meletakan kertas-kertas bahan yang akan saya buat kolase, saya melihat kemungkinan apa yang bisa saya buat; mana yang mungkin, mana yang tidak. Setelah itu saya memilih yang membuat saya terhibur yaitu dengan membuat bentuk yang jelek atau bodoh banget. Tapi seringnya dalam membuat kolase itu, saya ngasal. Nah, dari situ juga kadang saya menemukan pola dan bentuk yang menurut saya menarik untuk dicoba lebih banyak lagi.
Yang diketahui banyak orang adalah seni kolase merupakan proses merekonstruksi gambar-gambar yang sudah ada menjadi sebuah gambar baru; dari materi yang sudah ada menjadi kesatuan baru. Namun tak jarang kamu membuat gambarmu sendiri untuk membuat karya kolase.
Huumm,, kayaknya saya enggak kepikiran ya kalau sampai mau menghadirkan genre baru dalam kolase. Metode yang saya pakai di beberapa kolase ini, setahu saya sudah digunakan oleh Henri Matisse dengan skala yang besar. Semua cara berkolase yang saya lakukan itu mencontoh, mencontek, dan mengembangkan gaya yang sudah pernah ada dan dilakukan orang lain.
Soal ciri khas, juga enggak ada keinginan mengadopsi gaya atau metode yang sudah ada sebelum saya lahir untuk jadi ciri khas saya. Mungkin lebih ke saya memakai gaya atau metode itu sebagai kacamata yang membantu saya menemukan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saya buat dengan teknik kolase.
Judul dan teks pendukung menurut saya penting untuk mendeskripsikan sebuah karya kolase. Seperti misalnya saya sendiri sering kali kebingungan untuk menentukan judul, seringnya lebih susah mikir judul daripada membuat kolasenya. Terkadang, saya membuat judul untuk memudahkan orang mengerti cerita kolase saya maupun pengalaman atau proses di baliknya. Atau justru judul itu saya buat untuk membingungkan orang, karena kolase yang saya buat terkadang tidak punya ada cerita apa apa.
Tantangan kreatifnya ya sama seperti kegiatan kreatif lainnya adalah kehabisan ide. Cara menanganinya yang biasa saya lakukan adalah paksa saja. Misalnya mentok di ide yang ini, coba yang lain. Atau buat aja sejadinya. Salah satu hal yang saya percaya dalam proses berkolase ini yaitu “kuantitas lebih penting dari kualitas”. Jadi, lebih baik saya buat saja walaupun hasil akhirnya saya rasa kurang bagus, daripada saya tidak bikin apa-apa. Dengan begitu seenggaknya saya tahu apa yang bisa saya hindari proses-proses berkolase berikutnya.
Tapi kalau misalnya tingkat kehabisan idenya luar biasa parah (biasanya pas mau ada deadline pameran), saya berhenti bikin kolase sebentar, mungkin bikin yang lain kayak komik, ilustrasi atau membaca komik sambil jajan mainan.
Tren kolase di Indonesia menurut saya sih menarik-menarik saja. Terlebih dengan munculnya seni kolase digital, orang bisa lebih mengeksplorasi cara cara kolase yang tidak mungkin dilakukan sebelumnya dengan cara analog.
Baca Juga: Ika Vantiani: Upaya Edukasi Seni kepada Publik Lewat Kolase
Kalau baru ingin mulai ya mulai aja dulu, misalnya dengan memotong ban dari iklan mobil di koran dan ditempel di kepala orang pada foto headline koran yang sama. Misalnya kegiatan ini menarik untuk kamu, tips lanjutannya di bawah ini mungkin bisa membantu.
Untuk segi teknis sih:
Kalau dari segi kreativitas:
Regular
Italic
Bold
The rich text element allows you to create and format headings, paragraphs, blockquotes, images, and video all in one place instead of having to add and format them individually. Just double-click and easily create content.
A rich text element can be used with static or dynamic content. For static content, just drop it into any page and begin editing. For dynamic content, add a rich text field to any collection and then connect a rich text element to that field in the settings panel. Voila!
Headings, paragraphs, blockquotes, figures, images, and figure captions can all be styled after a class is added to the rich text element using the "When inside of" nested selector system.